PERS
Ciri-Ciri Pers
1. Publisitas
Publisitas yaitu sebuah penyebaran kepada publik atau kepada semua orang. Karena diperuntukan untuk semua orang, maka sifat surat kabar yaituumum. Isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang berkaitan dengan suatu kepentingan umum.
2. Periodisitas
Periodisitas ialah Terbitnya surat kabar ini bisa satu kali sehari, dua kali sehari atau satu kali atau dua kali seminggu. Seperti buku biasanya, tidak disebarkan secara periodik, tidak teratur hal ini dikarenakan terbitnya tidak teratur. Jadi dalam penerbitan seperti buku tidakmemiliki ciri periodisitas meskipun disebaran pada semua orang dan isinya menyangkut suatu kepentingan umum.
Periodisitas ialah Terbitnya surat kabar ini bisa satu kali sehari, dua kali sehari atau satu kali atau dua kali seminggu. Seperti buku biasanya, tidak disebarkan secara periodik, tidak teratur hal ini dikarenakan terbitnya tidak teratur. Jadi dalam penerbitan seperti buku tidakmemiliki ciri periodisitas meskipun disebaran pada semua orang dan isinya menyangkut suatu kepentingan umum.
3. Universalitas
Ciri surat kabar ini bisa dilihat dari kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia. Sebuah penerbitan berkala yang isinya untuk mengkhususkan diri pada suatu profesi atau aspek kehidupan, seperti Majalah Kedokteran, Arsitektur, Koperasi atau pertanian, tidak termasuk surat kabar.
Ciri surat kabar ini bisa dilihat dari kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia. Sebuah penerbitan berkala yang isinya untuk mengkhususkan diri pada suatu profesi atau aspek kehidupan, seperti Majalah Kedokteran, Arsitektur, Koperasi atau pertanian, tidak termasuk surat kabar.
4. Aktualitas
Menurut kata aslinya Aktualitas yang arinya “Kini” dan keadaan sebenarnya. Keduanya erat sekali disangkut pautkan dengan sebuah berita yang disiarkan surat kabar. Tetapi yang dimaksudkan dengan aktualitas sebagai ciri surat kabar ialah suatu kecepatan laporan tanpa menyampingkan pentingnya suatu kebenaran berita.
5. Objektivitas
Merupakan niai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca, tidak mengganggu perasaan dan pendapat pembaca.
Menurut kata aslinya Aktualitas yang arinya “Kini” dan keadaan sebenarnya. Keduanya erat sekali disangkut pautkan dengan sebuah berita yang disiarkan surat kabar. Tetapi yang dimaksudkan dengan aktualitas sebagai ciri surat kabar ialah suatu kecepatan laporan tanpa menyampingkan pentingnya suatu kebenaran berita.
5. Objektivitas
Merupakan niai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca, tidak mengganggu perasaan dan pendapat pembaca.
3 Pilar Penguat Pers
Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai berikut:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.
Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi. Manajemen pers di Indonesia saling berhubungan dengan fungsinya yang terbentuk saling mendukung. Dimana terdapat 3 pilar yang saling mendukung. Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga
pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang (Haris
Sumadiria, 2004). Tritunggal, ketiga pilar itu adalah:
1. Idealisme
Idealisme.
Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan
peranan sebagai:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum
berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran. Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme.
Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau
dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi
yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai0nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, adalah
contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional mempunyai
fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Komersialisme.
Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.
3. Profesionalisme.
Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.
3. Profesionalisme.
Profesionalisme
adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau
kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.
Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut:
a. memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya;
b. mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya;
c. seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi;
d. secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya;
e. memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya;
Tidak semua orang mampu
melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau
keahlian tertentu. Dengan merujuk kepada lima syarat di atas, maka jelas pers
termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi
landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam
praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial
karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak
sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru
kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap
kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat
terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan
insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak
bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan
melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena
masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.
Sistem Pers di Indonesia
1. Landasan
Idiil.
Landasan
pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi
negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap
merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah
hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.
2. Landasan
Konstitusional.
Landasan
yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan
ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan
kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.
3. Landasan
Yuridis Formal.
Mengacu
kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/
2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.
4. Landasan
strategis Operasional.
Landasan ini mengacu kepada kebijakan
redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada
kepentingan sosial dan nasional.
5. Landasan
Sosiologis Kultural.
Landasan
ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan
sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
6. Landasan Etis
Profesional.
Landasan
ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus
memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat
hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap
organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik.
Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri,
boleh juga menyepakati kode etik bersama.
Pers Indonesia juga
memunyai kewajiban:
a. Mempertahankan, membela
mendukung dan melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen;
b. Memperjuangkan
pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berlandaskan Demokrasi Pancasila;
c. Memperjuangkan
kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers;
d. Membina persatuan dan
menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, liberalisme,
komunisme, dan fasisme/diktator;
e. Menjadi penyalur
pendapat umum yang konstruktif dan progresif-revolusioner (UU Pokok Pers No. 11
Tahun 1982 Pasal 2).
Pers Indonesia juga
memunyai kewajiban:
a. Mempertahankan, membela
mendukung dan melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen;
b. Memperjuangkan
pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berlandaskan Demokrasi Pancasila;
c. Memperjuangkan
kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers;
d. Membina persatuan dan
menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, liberalisme,
komunisme, dan fasisme/diktator;
e. Menjadi penyalur
pendapat umum yang konstruktif dan progresif-revolusioner (UU Pokok Pers No. 11
Tahun 1982 Pasal 2).
Fenomena Pers di Indonesia
UU.No.40 Tahun 1999
Pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
Menurut UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pengertian inilah yang termasuk pengertian pers dalam arti luas.
Pasca tahun 1999 lalu, atau tepatnya pasca kelahiran UU no 40 tahun 1999 tentang pers, pers Indonesia menerima kado yang amat didamba selama ini: kebebasan. Kado ini jelas begitu istimewa, karena siapa pun tahu selama 30 tahun terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers, merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini.
Diskursus mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang pesat pasca 1999 tentu tidak akan jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’ kuantitas perusahaan pers. Hal ini tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas dari kebebasan berpolitik yang diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan berpolitik, termasuk pula kebebasan pers, merupakan modal ideal dalam rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di negeri ini.
Sayang, tak semua kisah kebebasan pers yang berbarengan dengan meningkatnya kuantitas perusahaan pers ini berdampak positif. Karena selama itu pula berbagai penyimpangan pun terjadi. Penyimpangan tersebut secara tidak langsung tertuju pada fenomena kebebasan pers yang kebablasan. Terkait kebablasan ini, mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu’arif menyatakan bahwa pers Indonesia telah masuk ke ruang liberal. Fenomena ini dapat dilihat lewat kegagalan pers mengatasi maraknya pornografi, penyebaran berita yang provokatif, character assassination (pembunuhan karakter) hingga fenomena wartawan gadungan. Di sisi lain ada yang juga yang berpendapat bahwa kebablasan pers yang terjadi tercermin lewat membludaknya berita-berita yang tak mendidik, sehingga memberikan efek desktruktif terhadap kehidupan bermasyarakat.
Klaim bahwa pers telah kebablasan mungkin dapat diperdebatkan. Karena Wardhana (Koran Tempo, 28 Januari 2002) justru berpendapat hingga saat ini pers Indonesia belum mendapatkan kebebasan sepenuhnya, masih banyak belenggu di sana-sini sehingga amat janggal rasanya bila pers disebut telah kebablasan.
Namun, dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat fungsi pers yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara proporsional, sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan, menurut saya, dapat dipertanggungjawabkan adanya.
Fenomena kebablasan pers saat ini setidaknya dapat dipandang dari beberapa kasus seperti pornografi dan pemberitaan yang provokatif yang dihadirkan media. Kasus pornografi mungkin tak dapat kita lepaskan dari terbitnya Majalah Playboy medio 2006 lalu, penerbitan yang juga disambut dengan begitu banyaknya pro-kotra intern masyarakat. Meski, Playboy akhirnya terbit jauh lebih soft ketimbang versi induknya di Amerika. Tetap saja, image Playboy sebagai media ‘porno’ tidak dapat ditutupi, itulah yang menjadi permasalahan. Selain itu, kasus pornografi pun menjerat sendiri Presiden Gus Dur, yang notabene mempelopori kebebasan pers. Lihat saja, pemberitaan foto rekayasa Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, di atas ranjang disebarkan kepada khalayak. Kesemua hal tersebut sah-sah saja muncul di depan publik, tentu dengan berdalih kebebasan pers. Sedang, pemberitaan provokatif begitu mudahnya muncul seperti: Bush Babi Buta, Amerika Setan! atau berbagai gaya bahasa sarkastis yang mengibaratkan anggota DPR bagaikan ikan lele yang berebut kotoran, seringkali masih digunakan. Padahal sangat jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.
Kedua kasus ini hanyalah segelintir kasus bagaimana pers Indonesia tak jarang telah melanggar dan melangkahi UU No. 40 Tahun 1999. Seharusnya, pasca reformasi yang ditandai pula lewat iklim kebebasan dan independensi pers, pers mampu menjadi salah satu pilar demokrasi bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan tiga elemen dasar pers, yakni integritas intelektual, etik, moral dan religius. Karena ketiga aspek inilah yang diyakini mampu menjadi kontrol internal bagi pers itu sendiri.
Apabila fungsi internal masih belum cukup kuat untuk mengontrol pers menjadi institusi yang melahirkan produk berkualitas. Maka, fungsi eksternal harus diperkuat, salah satu caranya adalah dengan mendirikan ‘lembaga media watch’ yang benar-benar independen. Lembaga yang diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat mengontrol kebebasan pers, bukan untuk ‘mengebiri’, melainkan mengontrol pertanggungjawaban pers kepada masyarakat. Diharapkan ‘lembaga media watch’ ini dapat menyempurnakan pengawasan eksternal pers yang sebelumnya telah ada di tangan dewan pers, KPI, masyarakat dan organisasi pers.
Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik.
Komentar
Posting Komentar